SejarahKerajaan Jenggala: Prasasti, Peninggalan, & Silsilah
Kepemimpinankerajaan Sunda lebih terfokus pada penataan masyarakat ke dalam, bukan penaklukan keluar wilayah. "Kekuatan besar yang mampu menjatuhkan masyarakat itu tidak ada di Sunda, sehingga satuan politiknya lebih bersifat lokal," tutur Budi. Hingga saat ini, representasi politik Sunda masih rendah secara nasional.
Andasekarang sudah mengetahui Sistem Kehidupan Sosial dan Ekonomi Masyarakat Kerajaan Sunda dan Pajajaran. Terima kasih anda sudah berkunjung ke Perpustakaan Cyber. Referensi : Suwito, T. 2009. Sejarah : Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Madrasah Aliyah (MA) Kelas XI. Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, p. 368.
F Kehidupan Politik Kehidupan politik kerajaan Sunda hampir sama dengan kerajaan-kerajaan lainnya. Tahta kerajaan akan diturunkan kepada anak laki-laki dari keluarga kerajaan. Pernikahan antar keluarga kerajaan untuk memperluas wilayah kekuasaan dan memperkuat kerajaan.
. Kerajaan Galuh – Mengenal sejarah Kerajaan Galuh yang merupakan kerajaan yang diperkirakan berdiri pada sekitar tahun 669 Masehi dan didirikan oleh Tarusbawa. Kerajaan ini tepatnya berada di Pulau Jawa. Di mana letak Kerajaan Galuh? antara Sungai Citarum yang berada di sebelah barat dan Sungai Cipamali yang berada di Sebelah Timur. Lalu bagaimana cerita sejarah dari masa kejayaan hingga masa runtuhnya kerajaan, silsilah raja dan juga peninggalan dari kerajaan? Simak penjelasan berikut ini! Sejarah Kerajaan Galuh Kerajaan Galuh merupakan kerajaan yang terletak dan juga berkembang di wilayah Jawa bagian Barat. Pada sekitar tahun 932 Masehi sampai dengan 1579 Masehi mulainya perkembangan dari kerajaan. Sejarah Kerajaan Galuh Kerajaan Galuh berdiri dikarenakan Raja Tarumanegara yang memiliki 2 orang anak, dimana keduanya adalah perempuan, yakni yang bernama Dewi Manasih yang telah menikah dengan Tarusbaawa dan beliaulah pendiri dari Kerajaan Galuh atau Sunda. Kemudian anak yang dekua yakni adalah Sobakanca yang telah menikah dengan Dapuntahayang yang kemudian telah mendirikan Kerajaan Sriwijaya. Hal ini dikarenakan adanya pernikahan antar kerajaan yakni kerajaan Sunda dan juga keran Lampung. Dengan pernikahan tersebut kerajaan ini dan lampung bergabung dan membentuk sagu wilayah, tapi dipisahkan oleh batasan alam yakni Selat Sunda. Kerajaan ini menggunakan bahasa Sunda Kuno, sehingga ia disebut sebagai Kerajaan Sunda. Kerajaan ini juga pernah berpindah di pusat ibu kota beberapa kali selama kerajaan ini terkenal. Seperti yang dikutip di naskah Wangsakerta, kerajaan ini berdiri untuk menggantikan Kerajaan Tarumanegara yang sebelumnya telah berkuasa. Kerajaan ini pertama kali dipimpin oleh Tarusbawa. Kerajaan ini pernah disebutkan dalam naskah asing yang ditulis Bujangga Manik, adanya seorang pendeta Hindu yang berasal dari Sunda. Pendeta tersebut pernah pergi ke tempat agama Hindu muncul di Pulau Jawa pada abad ke-16. Letak Kerajaan Galuh Letak dari kerajaan Galuh juga berbeda-beda tidak bisa dipastikan, karena memang ada dua sumber yang pernah tercatat bahwa ada yang menuliskan letak wilayah dan batasan dari kerajaan ini. Catatan Tom Pires menyatakan bahwa kerajaan Galuh memiliki wilayah yang mencangkul sepertiga pulau Jawa, tetapi ada juga yang mengatakan seperdelapan pulau. Catatan yang kedua ialah, Wangsakerta. Dalam catatan ini dituliskan bahwa kerajaan Galuh mencangkul daerah yang cukup besar, yakni wilayah yang beretnis Sunda dan wilayah yang ada di sekitar Provinsi Lampung. Masa Kejayaan Kerajaan Galuh Masa Kejayaan Kerajaan Masa Kejayaan Kerajaan Galuh dipimpin oleh Prabu Siliwangi, yang kemudian disebut sebagai Pajajaran dalam waktu tertentu. Pada masa itu rakyat hidup dengan baik dan juga perkembangan ekonomi yang berlangsung dengan pesat. Kerajaan Galuh sendiri tidak memiliki defalh secara rinci pada saat masa kejayaan. Hal ini dikarenakan perpindahan ibu kota dan juga pergantian namanya yang sampai sekarang masih dipelajari oleh sejarawan. Apakah kerajaan ini masuk sebagai kerajaan Sunda, Pajajaran atau Galuh. Runtuhnya Kerajaan Galuh Runtuhnya Kerajaan Galuh Kerajaan ini runtuh pada saat masa kepemimpinan raja terakhir, yakni Prabu Suryakencana, beliau penganut dari agama Hindu. Penyebab runtuhnya kerajaan ini juga disebabkan oleh Kerajaan Banten. Hal ini bermula pada saat itu Kerajaan Banteng yang berada dibawah kepemimpinan oleh Maulana Yusuf datang dan juga menyerang secara fisik, sementara kerajaan kepemimpinan Prabu Surya Kencana sampai hancur. Kehidupan Kerajaan Galuh Kehidupan yang ada pada masyarakat Kerajaan Galuh dibagi menjadi 4 aspek yakni, Aspek Politik, Aspek Agama, Aspek Ekonomi, Aspek Sosial dan Aspek Budaya. Berikut ini merupakan penjelasan dari masing-masing aspek yang ada! Contoh Kehidupan Kerajaan Kehidupan Politik Kerajaan Galuh Kehidupan politik yang ada pada kerajaan ini tidak bisa lepas dari berbagai perpecahan dan juga penyatuan dari kerajaan, dua kerajaan tersebut adalah kerajaan Sunda dan juga Galuh. Setelah penyatuan yang telah dilakukan oleh Sanjaya, kerajaan ini pecah kembali tepatnya pada tahun 739 M, pada tahun tersebut kerajaan Galuh dan Sunda di pecah kembali untuk anak Panaraban. Pada saat itu kerajaan Galuh dipimpin oleh anak pertama dari Paraban yang bernama Sang Manarah. Kemudian kerajaan Sunda di bawah kepemimpinan Sang Bangga. Pada tahun 1482 dua kerajaan tersebut bersatu kembali, hal ini dikarenakan adanya pernikahan antar keluarga oleh Jayadewata dengan gelar yang tersemat yakni Sri Baduga Maharaja, beliau memerintah di kerajaan pada sekitar tahun 1482 hingga 1521. Kehidupan Agama Kerajaan Galuh Kehidupan agama yang berada di kerajaan ini adalah mayoritas masyarakat beragama Hindu, hal ini bisa dilihat dari peninggalan dari prasasti kerajaan ini. Prasasti tersebut menggunakan bahasa Sunda kuno dan hal ini juga didukung dengan kerajaan Tarumanegara yang dulunya juga merupakan kerajaan Hindu tertua yang berada di Pulau Jawa. Tetapi karena seiring dengan perkembangan dan juga datangnya para pedagang Arab yang turut menyebarkan agama Islam, sehingga Islam juga berkembang pada kerajaan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari pendirian madrasah Islam dan jufa pengurangan dari adat istiadat Agama Hindu di dalam masyarakat dan juga dalam kegiatan dari kerajaan. Kehidupan Ekonomi Kerajaan Galuh Kehidupan ekonomi yang ada di kerajaan adalah petani dan nelayan. Hal ini dikarenakan memang kebanyakan dari masyarakat dari Galuh tersebut bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan, tetapi kebanyakan dari masyarakat menjadikan pertanian sebagai alat untuk bertahan hidup. Pada prasasti dan juga naskah kuno, tidak menjelaskan secara rinci dari keadaan ekonomi kerajaan Galuh, tetapi karena melihat dari seringnya kerajaan untuk berpindah ke ibu kota, hal itu memungkinkan bahwa kerajaan ini memiliki kehidupan ekonomi yang cukup bagus. Karena datangnya Belanda ke negara Indonesia menyebabkan masyarakat dari kerajaan Galuh harus kerja paksa yakni untuk menanam kopi dan juga kelapa serta nila. Karena adanya kerja paksa tersebut raja tidak bisa berbuat banyak, sehingga beliau memutuskan untuk membuat sebuah saluran irigasi yang digunakan untuk membantu beban dari rakyat agak pengairan dapat berjalan dengan mudah Kehidupan Sosial Kerajaan Galuh Kehidupan sosial dari kerajaan ini adalah menggunakan sistem pemerintahan monarki. Yakni sistem yang menganggap bahwa raja dan juga keluarganya akan mendapatkan tingkat yang lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat pada kalangan biasa. Hal tersebut tidak bisa untuk ditolak, sehingga masyarakat menerima dengan baik dengan sistem pemerintahan tersebut. Tetapi perselisihan terjadi antara Galuh dan juga Sunda. Perselisihan dapat diatas dan seiring perkembangannya kemudian kedua kerajaan tersebut bisa menjadi kerajaan yang setara dan juga mengadakan hubungan bilateral yang cukup baik. Mata pencaharian selain bertani dan sebagai nelayan adakah sebagai pedagang. Masyarakat yang ada di Galuh juga mengandalkan segi ekonomi dengan cara berdagang, sehingga banyak juga pedagang yang berasal dari Arab dan Timur Tengah. Masyarakat hidup dengan tatanan sosial yang cukup baik seperti pada umumnya. Kehidupan Budaya Kerajaan Galuh Kehidupan Budaya yang ada pada masyarakat Kerajaan bisa dilihat dengan adanya naskah kerajaan dan juga perkembangan agama. Dimana pada saat itu sempat muncul keinginan untuk penurunan dari derajat sang hyang pada raja, tetapi hal tersebut ternyata dapat memberikan warna pada kerajaan dalam aspek kebudayaan. Karena kerajaan ini bercorak Hindu, maka banyak prasasti, naskah dan juga candi yang ditemukan, benda-benda tersebut merupakan peninggalan dari kerajaan Hindu dan menjadi bukti bahwa adanya pengembangan agama Hindu di Indonesia khususnya di wilayah Pulau Jawa. Prasasti yang ditemukan juga menjelaskan tentang kehidupan raja dan juga menceritakan tentang ada dan juga budaya yang telah dianut oleh masyarakat Sunda, hal ini tercantum khususnya pada Prasasti Kawali 4, sastrawan mengambil kesimpulan bahwa adat dan budaya yang ada pada kerajaan ini berkembang dengan baik. Raja Kerajaan Galuh Siapa raja kerajaan galuh? Kerajaan Galuh juga dipimpin oleh beberapa raja. Berikut ini merupakan penjelasan singkat serta daftar dari silsilah kerajaan! Contoh Raja Galuh Silsilah Raja Kerajaan Galuh Raja Tarusbawa Beliau merupakan raja pertama yang ada di kerajaan Galuh, dimana raja tersebut juga pernah menjadi pemimpin pada kerajaan Sunda sebelum kerajaan berada dibawah kekuasaan dari Tarumanagara. Raja Wretikandayun Beliau merupakan raja yang ada setelah kerajaan Sunda berdiri. Dimana Raja Wretikandayun berhasil membebaskan kerajaan Galuh untuk bisa berdiri sendiri, sebingga nanti penerus dari kerajaan teesebut adalah anak dari Wretikandayun yakni Sanjaya yang kemudian akan dinikahkan dengan Tarusbawa. Raja Sanjaya Raja Sanjaya merupakan raja yang berhasil menyatukan kerajaan Galuh dengan kerajaan Sunda, beliau juga dikenal sebagai pemimpin yang baik. Kemudian setelah melihat situasi yang cukup aman, kerajaan ini dipecah kembali menjadi 2 kerajaan yakni, kerajaan Galuh dan Sunda, dan berakhir dengan menyerahkan tahta kerajaan Galuh untuk anaknya. Lingga Buana Beliau merupakan ratu dari kerajaan Sunda-Galuh yang berada di bawah kepemimpinan Hayam Wuruk dan juga Gajah Mada dari Majapahit. Dimana pada saat itu Majapahit sudah hampir menguasai seluruh wilayah Nusantara. Tetapi tidak sampai dengan mengerang kerajaan yang telah dipimpin oleh Linggabuana dan juga anaknya yang bernama Dyah Pitaloka Citraresmi. Peninggalan Kerajaan Galuh Kerajaan Galuh meninggalkan beberapa peninggalan-peninggalan yang bersejarah dan tentunya juga harus dijaga dan dirawat dengan baik. Lalu apa saja peninggalan-peninggalan tersebut? Simak penjelasan dibawah ini. Contoh Peninggalan Kerajaan Peninggalan Kerajaan Prasasti Galuh Prasasti tersebut merupakan tanda bahwa memang kerajaan Galuh pernah benar-benar ada. Prasasti Galuh sendiri masih disimpan dalam Museum Nasional Indonesia, dengan ukurang yang kecil, yakni berukuran 51 cm. Prasasti tersebut dituliskan di atas sebongkah batu yang dipahat dengan menggunakan aksara Sunda Kuno. Prasasti Rumatak Prasasti ini ditemukan dengan ukuran 85 cm dengan lebar sebesar 62 cm. Prasasti tersebut ditulis dan dipahat di batu dengan menggunakan bahasa 3 baris aksara Sunda Kuno. Isi dari prasasti tersebut adalah tentang pendirian dari kerajaan Rumatak oleh Sang Hyang. Situs Geger Sunten Peninggalan yang bisa kita lihat secara jelas berada di daerah Ciamis. Ciamis merupakan daerah yang menjadi tempat persembunyian dari Aki Balangatrang ketika beliau masih menjadi abdi dari kerajaan Galuh. Disitu para pengunjung bisa melihat batu yang dulu pernah digunakan oleh Ciung Wanara untuk petilasan ketika kerajaan Galuh masih berkuasa. Penutup Demikian penjelasan tentang Kerajaan Galuh, pembahasan yang dimulai dari sejarah, masa kejayaan dan masa runtuhnya kerajaan, cerita tentang kehidupan masyarakat yang ada pada saat itu, silsilah raja dan juga peninggalan dari kerajaan Galuh. Semoga artikel ini bisa bermanfaat dan bisa menambahkan wawasan buat kalian semua terutama pada bidang sejarah, karena sejarah bukan untuk dilupakan, tapi sejarah untuk dijaga dan dirawat! Kerajaan GaluhSumber Referensi
Jawa Barat merupakan salah satu wilayah atau daerah di Indonesia yang memiliki sejarah panjang kerajaan nusantara. Salah satu kerajaan yang paling dikenal berdiri di wilayah ini adalah Kerajaan Pajajaran. Berikut beberapa fakta sejarah tentang Kerajaan Pajajaran beserta penjelasannya. Sejarah Kerajaan PajajaranLokasi, Letak, dan Peta WilayahSilsilah Raja1. Sri Baduga Maharaja 1482-15212. Surawisesa 1521-15353. Ratu Dewata 1535-16434. Ratu Sakti 1543-15515. Ratu Nilakendra 1551-15676. Raga Mulya 1567-1579Kehidupan Kerajaan Pajajaran1. Kehidupan politik2. Kehidupan ekonomi3. Kehidupan sosial4. Kehidupan budayaMasa Kejayaan1. Infrastruktur2. Militer3. Keagamaan4. PemerintahanPenyebab KeruntuhanSumber Sejarah1. Prasasti Cikapundung2. Prasasti Huludayeuh3. Prasasti Pasir Datar4. Prasasti Perjanjian Sunda Portugis5. Prasasti Ulubelu6. Prasasti Kebon Kopi II7. Prasasti Batu Tulis8. Prasasti Astana GedePeninggalan1. Komplek Makan Keramat2. Sumur Jalatunda3. Situs Karangkamulyan Sumber Keberadaan Kerajaan Pajajaran bermula dari dua kerajaan, yaitu Kerajaan Sunda yang dimpimpin oleh Raja Susuktunggal dan Kerajaan Galuh yang dipimpin oleh Raja Dewa Niskala. Kedua kerajaan tersebut terikat oleh sebuah ikatan pernikahan yang terjalin antara putra raja Dewa Niskala dan putri dari Raja Susuktunggal. Pada masa yang sama Kerajaan Majapahit yang dipimpin oleh Prabu Kertabumi Brawijaya V sedang mengalami masa keruntuhan. Tidak hanya pemberontakan, mereka juga menghadapi perebutan kekuasaan yang terjadi di internal kerajaan Majapahit. Situasi tersebut akhirnya memaksa penduduk Majapahit mengungsi ke Kerajaan Galuh. Termasuk keluarga salah satu kerabat Raja Brawijaya IV, Raden Baribin. Setelah mereka sampai di Kerajaan Galuh, rombongan pengungsi termasuk keluarga Raden Baribin disambut dengan hangat oleh Raja Dewa Niskala. Tidak disangka, Raja Dewa Niskala memutuskan menikah dengan salah seorang keluarga dari rombongan pengungsi. Bahkan, ia juga menikahkan salah satu putrinya dengan Raden Baribin. Namun, pernikahan ini mendapat pertentangan dari Raja Susuktunggal. Ia menganggap bahwa Kerajaan Galuh sudah melanggar aturan yang sudah disepakati sejak Peristiwa Bubat, yaitu larangan bagi orang-orang dari Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda untuk menikah dengan keturunan Kerajaan Majapahit. Pada akhirnya, pernikahan ini pun menimbulkan perselisihan antara dua kerajaan tersebut. Sebelum peperangan antar kedua kerajaan meletus, dewan penasihat dari kedua kerajaan melakukan perundingan. Perundingan tersebut menghasilkan keputusan bahwa kedua raja yang berselisih harus mundur dari tahtanya dan memilih seorang pengganti untuk memimpin Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda. Kedua raya yang berselisih tersebut memlih Jayadewata untuk mempersatukan dan memimpin kedua kerajaan. Setelah Jayadewata terpilih menjadi raja, ia memperoleh gelar Sri Baduga Maharaja, yang kemudian ia lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Kedua kerajaan tersebut pun akhirnya bersatu dan resmi berganti nama menjadi Kerajaan Pakuan Pajajaran pada tahun 1482. Lokasi, Letak, dan Peta Wilayah Sumber Kata “pakuan” sendiri memiliki arti “kota”. Sehingga, apabila diterjemahkan, Kerajaan Pakuan Pajajaran dapat diartikan menjadi Kerajaan Kota Pajajaran. Penamaan ini tidak lepas dari lokasi kerajaan yang terletak di Pajajaran yang kini dikenal sebagai Kota Bogor. Menurut Tom Peres dalam tulisannya yang berjudul The Suma Oriental, Jawa Barat merupakan bagian dari wilayah kekuasaan Kerajaan Pajajaran. Kerajaan Sunda-Galuh ini juga memiliki beberapa batas geografis. Di sisi Barat berbatasan dengan Selat Sunda, bagian Utara berbatasan dengan Laut Utara Jawa Barat, sisi Timur berbatasan dengan Sungai Cipamali Pamali, dan bagian Selatan berbatasan dengan Samudera Hindia. Silsilah Raja Semenjak bersatu pada sekitar abad ke-15, Kerajaan Pajajaran telah dipimpin oleh beberapa Raja. Berikut daftar dan penjelasan singkat raja-raja yang sudah pernah memerintah di Kerajaan Pakuan Pajajaran. 1. Sri Baduga Maharaja 1482-1521 Sumber Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi merupakan anak dari Raja Dewa Niskala. Nama Siliwangi sendiri berasal dari dua suku kata, yaitu “silih” dan “wangi” yang bermakna pengganti Prabu Wangi. Ia merupakan pemimpin pertama setelah kerajaan Galuh dan Sunda bersatu. Seperti yang tertulis dalam parasasti Batutulis, ia dinobatkan sebagai raja sebanyak dua kali. Pertama, yaitu ketika ia menerima tahta dari ayahnya, Dewa Niskala, dan memperoleh gelar Prabu Guru Dewataprana. Kedua, yaitu ketika ia menerima tahta dari kerajaan Galuh, yang kemudian menjadikan ia sebagai pendiri Kerajaan Pajajaran, yang merupakan gabungan dari Kerajaan Galuh dan Sunda. Di bawah pemerintahannya, kerajaan tidak memperbolehkan memungut bea atau pajak pada penduduk Jayagiri dan Sunda Sumbawa. Secara spesifik, terdapat empat macam pajak yang dibebaskan, yaitu berupa pajak tenaga perorangan dasa, pajak tenaga kolektif calagra, pajak kapas 10 pikul kapas timbang, dan pajak padi satu gotongan pare dondang. Selain itu, Prabu Siliwangi juga terkenal dengan mitos tentang bagaimana ia mampu mengalahkan siluman hari putih yang kemudian menjadi pengikutnya. 2. Surawisesa 1521-1535 Ia merupakan raja kedua Kerajaan Pajajaran setelah Prabu Siliwangi turun tahta. Ia menduduki tahta kerajaan setelah Raden Walangsungsang sebagai putra mahkota memutuskan untuk keluar dari kerajaan dan mendirikan Kerajaan Cirebon. Sebagai seorang Raja Pajajaran, ia ingin memajukan dan mensejahterakan seluruh rakyatnya. Selama memimpin, Surawisesa tercatat telah menghadapi sebanyak 15 pertempuran. Sehingga, ia dianggap sebagai pemimpin yang perkasa dan pemberani. Sayangnya, banyaknya perang yang dihadapi oleh Surawisesa tidak lepas dari wataknya yang selalu menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan segala permasalahan. Bahkan semenjak ia bertahta, Kerajaan Pajajaran sering berperang dengan Kerajaan Cirebon. Walaupun pada tahun 1531 kedua kerajaan tersebut sudah bersepakat untuk berdamai dan saling mengakui wilayah satu sama lain. Meskipun demikian, banyak masyarakat Kerajaan Pajajaran yang merasa kecewa dengan kepemimpinan Surawisesa dan memaksanya untuk turun tahta. Sudah merasa tidak dibutuhkan lagi, ia kemudian memutuskan untuk turun tahta dan pergi dari Kerajaan Pajajaran. 3. Ratu Dewata 1535-1643 Berbeda dengan ayahnya yang dikenal sebagai panglima perang dan pemberani, Ratu Dewata dikenal sebagai pemimpin yang alim atau taat dalam beragama. Beberapa ritual keagamaan seperti sunat dan tapa pwah susu, sebuah kegiatan praktik dimana hanya seseorang hanya boleh mengkonsumsi susu dan buah-buahan, sering dipraktekkan di bawah kepemimpinannya. Di bawah kepemimpinannya, Kerajaan Pajajaran diserang secara tiba-tiba oleh pasukan Hasanuddin dari Banten. Sayangnya, karena ia kurang peka dengan kondisi politik pemerintahan yang membuat ia tidak siaga dengan potensi bahaya, Kerajaan Pajajaran hampir tidak selamat. Beruntung, Ratu Dewata masih didampingi oleh perwira yang pernah mendampingi ayahnya berperang serta keberadaan benteng kokoh yang dibangun oleh Prabu Siliwangi. Sehingga serangan yang dipimpin oleh Hasanuddin gagal, meski harus ada dua senopati Pajajaran yang harus gugur. 4. Ratu Sakti 1543-1551 Ratu Sakti atau Kaliyuga merupakan raja keempat Kerajaan Pajajaran yang juga sekaligus raja dengan masa kepemimpinan yang paling singkat. Apabila dibandingkan dengan Ratu Dewata yang sangat alim, Ratu Sakti memiliki sifat yang gemar berfoya-foya bermabuk-mabukan, gemar menghina orang tua bahkan para pemuka agama. Di masa kepemimpinannya Kerajaan Pajajaran mengalami masa-masa yang suram karena kepemimpinan yang buruk dari Kaliyuga yang sangat kurang memperhatikan rakyatnya. Dengan kondisi ekonomi yang buruk, masyarakat di wilayah pedalaman Kerajaan Pajajaran banya yang terpaksa melakukan tindakan maksiat dan membuat situasi kerajaan tidak terkendali. Selain itu, Ratu Sakti juga mengedepankan kekerasan dan represi untuk menyelesaikan permasalahan, termasuk dalam menghukum masyarakatnya yang melakukan kesalahan. Harta benda masyarakat pun banyak yang disita oleh kerajaan dan sistem perpajakan yang berlaku pun sangat tidak menguntungkan rakyat kecil. 5. Ratu Nilakendra 1551-1567 Ratu Nilakendra atau Tohan Di Majaya memerintah selama 16 tahun. Namun, meski sudah berganti pemimpin, kondisi Kerajaan Pajajaran justru jauh lebih buruk. Setelah dilanda kelaparan yang cukup parah saat masa kepemimpinan Kaliyuga, masyarakat Kerajaan Pajajaran juga kembali tidak diperhatikan karena Ratu Nilakendra fokus memperdalam ajaran aliran Tantra. Daripada memperhatikan kesejahteraan masyarakatnya, ia justru semakin jauh dalam mempercayai aliran Tantra, seperti banyak membangun bangunan kramat dan menarih jimat di sekitar istananya. Bahkan, Ratu Nilakendra lebih memilih untuk membuat bendera keramat daripada melakukan peremajaan terhadap sistem persenjataan untuk meningkatkan pertahanan kerajaan. Alhasil, saat Kerajaan Pajajaran berperang dengan Kerajaan Banten, mereka selalu mengalami kekalahan dan ibu kota kerajaan berhasil direbut. Setelah secara “de jure” Kerajaan Pajajaran runtuh, Ratu Kendra pun memutuskan melarikan diri dan ia wafat pada tahun 1567 dalam pelariannya. 6. Raga Mulya 1567-1579 Raga Mulya atau Prabu Suryakencana adalah raja terakhir Pajajaran yang memerintah selama 12 tahun. Ia naik tahta ketika Kerajaan Pajajaran sudah tidak berada di Pakuan. Hal ini terjadi karena kerajaan telah berpindah dari daerah pakuan Bogor dipindah ke daerah Pandai Gelang Suryakencana. Lebih tepatnya yaitu di wilayah Kaduhejo, Kecamatan Menes, lereng Gunung Pulasari, Pandeglang. Di bawah kekuasaanya, Raga Mulya membuka pemukiman penduduk baru di daerah Cisolok dan Bayah. Ia pun juga menyerahkan beberapa pusaka milik Kerajaan Pajajaran kepada Prabu Geusan Ulum yang memerintah Kerajaan Sumedanglarang melalui empat panglimanya. Namun, keempat panglima itu berkhianat dan justru bergabung dengan Prabu Geusan Ulum. Pada akhirnya, Kerajaan Pajajaran pun benar-benar runtuh di masa kepemimpinan Raga Mulya setelah Panembahan Yusuf dari Kesultanan Banten melakukan aksi penyerangan. Kehidupan Kerajaan Pajajaran Terdapat empat aspek kehidupan yang dapat dilihat dari masyarakat Kerajaan Pajajaran, yaitu 1. Kehidupan politik Masih sedikit sumber sejarah yang bisa menjelaskan secara detail atau lengkap mengenai gambaran kehidupan politik Kerajaan Pajajaran. Sejauh ini, kehidupan politik yang bisa digambarkan adanya perpindahan pusat pemerintahan dan pergantian tahta raja. Secara urut, pusta kerajaan yang dimaksud adalah Kerajaan Galuh, Prahajyan Sunda, Kawali, serta Pakwan Pajajaran. 2. Kehidupan ekonomi Secara umum, masyarakat Kerajaan Pajajaran sangat menggantungkan hasil pertanian dan kebun. Beberapa hasil bumi yang biasa mereka hasilkan yaitu beras, sayuran, buah-buahan, serta lada. Selain menjadi petani, masyarakat setempat juga memiliki mata pencaharian sebagai nelayan dan menjadi pedagang. Hal ini diperkuat dengan keberadaan enam pelabuhan penting yang mengelilingi kerajaan, yaitu Pontang, Cigede, Tamgara, Banten, Sunda Kelapa, dan Cimanuk. 3. Kehidupan sosial Masyarakat Pajajaran dapat terbagi menjadi beberapa golongan. Diantaranya adalah golongan seniman penari, pemusik, badut, golongan pedagang, golongan petani, serta golongan jahat perampok, pencuri, pembunuh. 4. Kehidupan budaya Budaya masyarakat Kerajaan Pajajaran, baik yang sehari-hari maupun ritual, sangat dipengaruhi oleh agama Hindu. Sehingga Kerajaan Pajajaran bisa disebut dengan kerajaan bercorak Hindu. Beberapa peninggalannya adalah kerajinan batik, beberapa prasasti, Kitab Cerita Parahyangan, dan Kitab Sangyang Siksakanda. Masa Kejayaan Sumber Meskipun sudah berganti pemimpin sebanyak enam kali, Kerajaan Pajajaran justru memperoleh puncak kejayaannya ketika dipimpin oleh raja pertama mereka, Prabu Siliwangi. Berikut penjelasan lengkapnya 1. Infrastruktur Di bidang infrastruktur, Prabu Siliwangi telah berhasil membangun Telaga Maharena Wijaya. Telaga ini sangat bermanfaat bagi masyarakat Pajajaran, khususnya mereka yang bermata pencaharian sebagai petani. Selain itu, ia juga membangun jalan menuju Pakuan dan Wanagiri. 2. Militer Di bidang militer, Prabu Siliwangi berhasil membentuk angkatan perang yang kuat. Ia juga membangun asrama dengan fasilitas yang sangat lengkap, pagelaran, kaputren, serta memperkuat benteng pertahanan. 3. Keagamaan Dalam keagamaan, Prabu Siliwangi mewujudkan kepeduliannya dengan mendirikan desa khusus untuk para pemuka agama. Tujuannya yaitu agar kehidupan beragama di Kerajaan Pajajaran dapat terus berjalan dan lebih terjamin. 4. Pemerintahan Di bidang pemerintahan, Kerajaan Pajajaran sudah mampu membuat peraturan atau undang-undang untuk mengatur kehidupan masyarakat. Di samping itu, Prabu Siliwangi juga mengatur sistem pajak atau mengatur upeti yang akan diserahkan ke kerajaan. Penyebab Keruntuhan Penyebab runtuhnya Kerajaan Pajajaran diakibatkan oleh serangan dari Maulana Yusuf yang berasal dari Kesultanan Banten pada tahun 1570. Keruntuhan Pajajaran ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana singgasana raja dari Pakuan Pajajaran ke Keraton Surosowan oleh Maulana Yusuf. Tindakan ini ditujukan sebagai tradisi politk agar tidak ada lagi yang diangkat menjadi raja di Pakuan Pajajaran. Sumber Sejarah Terdapat peninggalan Kerajaan Pajajaran yang ditemukan dalam bentuk prasasti. Selain sebagai sumber sejarah, prasasti ini juga menunjukkan kemajuan kerajaan Pajajaran. Berikut beberapa contoh prasastinya 1. Prasasti Cikapundung Sumber Prasasti ini ditemukan pada tanggal tahun 1884 di kawasan perkebunan kina di Cikapundung-Ujungberung. Di permukaan prasasti ini ditemukan gambar telapak tangan, telapak kaki, serta wajah. Ditemukan pula sebuah tulisan yang apabila diartikan berbunyi semua manusia di dunia dapat mengalami kejadian apapun. 2. Prasasti Huludayeuh Sumber Prasasti Huludayeuh ditemukan di kawasan persawahan Desa Cikahalang, Kecamatan Dukupuntang, Cirebon. Saat ditemukan oleh peneliti dan arkeolog pada tahun 1991, kondisi prasasti ini sudah tidak utuh lagi dan terdapat bagian yang sudah rusak. Sehingga, ada beberapa tulisan di permukaannya yang hilang dan menjadikannya tidak terbaca. Namun secara garis besar, isi prasasti ini bercerita tentang usaha Sri Maharaja Ratu Haji untuk membuat rakyat kerajaan sejahtera. 3. Prasasti Pasir Datar Prasasti yang kini disimpan di Museum Nasional Jakarta ini ditemukan di Pasir Datar, Cisande, Sukabumi tahun 1872. Sayangnya prasasti ini masih belum berhasil ditranskripsikan, sehingga belum diketahui pesannya. 4. Prasasti Perjanjian Sunda Portugis Sumber Prasasti berbentuk tugu ini menjadi bagian dari simbol atau lambang perjanjian antara Kerajaan Portugis dengan Kerajaan Sunda. Sumber sejarah yang ditemukan di Jakarta pada tahun 1918 ini dibuat oleh utusan dagang Kerajaan Portugis di Malaka yang membawa logistik atau barang untuk diserahkan kepada Surawisesa. 5. Prasasti Ulubelu Sumber Prasasti ini ditemukan pada tahun 1936 di Ulubelu, Desa Rebangpunggung, Lampung, Sumatera Selatan. Prasasti yang diyakini ditulis menggunakan aksara Sunda kuno ini berisi mantra untuk meminta pertolongan kepada Dewa Wisnu, Siwa, Brahma, serta dewa penguasa tanah, air, dan pohon agar terus diberikan keselamatan. 6. Prasasti Kebon Kopi II Sumber Prasasti ini merupakan peninggalan Kerajaan Sunda Galuh dan ditemukan pada abad ke-19 di Kampung Pasir Muara, Desa Ciaruteun Ilir, Bogor, Jawa Barat. Prasasti yang diyakini dibuat pada 932 Masehi ini bercerita tentang prestasi yang telah diperoleh seorang raja yang memerintah Kerajaan Pajajaran. 7. Prasasti Batu Tulis Sumber Pembacaan isi prasasti ini dilakukan pertama kali oleh Friederich pada tahun 1853. Namun prasasti ini baru bisa dibaca beberapa tahun kemudian oleh seorang peneliti bernama Cornelis Marinus Pleyte. Prasasti tersebut berisikan penjelasan mengenai kampung Batu Tulis yang di masa Kerajaan Pajajaran berkuasa dijadikan sebagai tempat Puri. Di samping itu, sumber sejarah ini juga berisikan tentang pembagian wilayah Pajajaran dan pemindahan pusat pemerintahan dari Pakuan ke Pandeglang. 8. Prasasti Astana Gede Sumber Prasasti ini merupakan peninggalan dari masa Kerajaan Galuh pada abad ke-14 Masehi dan merujuk kepada beberapa prasasti yang ditemukan di wilayah Kabuyutan Kawali, Ciamis, Jawa Barat. Diyakini bahwa keberadaan prasasti ini adalah sebagai simbol kejayaan Prabu Niskala Watu Kancana. Peninggalan Berikut penjelasan singkat beberapa peninggalan Kerajaan Pajajaran selain prasasti yang masih bisa ditemui 1. Komplek Makan Keramat Sumber Makam ini adalah tempat dimana istri kedua Prabu Siliwangi, Ratu Galuh Mangkualam dikebumikan. Lokasi komplek makan ini tepatnya di Kebun Raya Bogor, Desa Peledang, Bogor, Jawa Barat. Di komplek yang sama juga dapat ditemukan tempat pemakaman panglima perang sekaligus pendiri Desa Peledang, Mbah Jepra, serta gubernur Prabu Siliwangi, Mbah Baul. 2. Sumur Jalatunda Sumber Sumur ini terletak di Gang Jambekuina dan merupakan mata air dangkal yang konon tidak pernah kering meskipun di musim kemarau sekalipun. Pada saat banyak masyarakat yang memegang kepercayaan Sunda Wiwitan, situs ini sering digunakan sebagai tempat semedi banyak orang. Selain itu, air dari sumur ini sering digunakan untuk ritual kasepuhan karena masih dipercaya sebagai salah satu dari tujuh mata air suci yang ada di Kampung Budaya Sindang Barang. 3. Situs Karangkamulyan Sumber Peninggalan Kerajaan Pajajaran yang bercorak Hindu-Buddha ini terletak di daerah Cijeungjing, Ciamis, Jawa Barat. Di samping dongeng kesaktian dan kehebatan, situs ini pun menceritakan tentang hubungan Ciung Wanara dengan Kerajaan Galuh sebagai seorang pemimpin yang adil dan bijaksana.
Kerajaan Pajajaran – Sejarah dalam berdirinya kerajaan Pajajaran merupakan kerajaan yang bercorak Hindu. Kerajaan tersebut diperkirakan didirikan pada sekitar tahun 923 oleh Sri Jayabhupati. Di mana letak Kerajaan Pajajaran? Kerajaan ini terletak di wilayah Parahyangan Sunda. Lalu bagaimana dengan cerita sejarah, dari mulai masa kejayaan, masa runtuhnya, cerita kehidupan, silsilah raja beserta peninggalannya? Simak penjelasan berikut ini! Sejarah Kerajaan Pajajaran Kerajaan Pajajaran merupakan kerajaan yang tercatat oleh Tom Peres pada tahun 1513 M dalam The Suma Oriental. Kerajaan ini merupakan kerajaan yang terletak di Parahyangan Sunda dan Pakuan yang menjadi ibu kota Sunda. Sejarah Kerajaan Pajajaran Sesuai yang tulisan yang ada di The Suma Oriental, bahwa ibu kota dari Sunda mempunyai sebutan dengan Dayo atau Dayeuh. Kerajaan Pajajaran merupakan lanjutan dari Kerajaan-kerajaan terdahulu, yang meliputi Kerajaan Tarumanegara, Kerajaan Sunda, Kerajaan Galuh dan juga ada Kerajaan Kawali. Pada sekitar tahun 1400-an, kondisi Majapahit semakin lemah dan banyaknya pemberontakan dan juga perebutan kekuasaan antara saudara kerap terjadi. Hingga pada saat Prabu Kertabumi terjatuh Brawijaya V, banyak para pengungsi yang menuju ke ibu kota Kerajaan Galuh yang berada di wilayah Kawali, Kuningan, Jawa Barat. Pengungsi tersebut merupakan kerabat dari Kerajaan Majapahit. Pada saat itu Raden Baribin diterima dengan tangan terbuka oleh Raja Dewa Niskala. Raden Baribin merupakan saudara dari Prabu Kertabumi ia juga telah menikah dengan Ratna Ayu Kirana yang merupakan salah satu putri dari Raja Dewa Niskala. Bulan hanya itu, ternyata Raja juga menikah dengan salah satu rombongan Raden Baribin yang ikut mengungsi. Tetapi dengan adanya pernikahan tersebut Raja Susuktunggal, raja yang berasal dari Kerajaan Sunda tidak terima. Ia menganggap bahwa Dewa Niskala sudah melanggar peraturan, dimana aturan tersebut sudah dibuat sejak peristiwa Bubat. Peraturan tersebut berisikan “Jika orang Sunda-Galuh tidak boleh dan dilarang menikah dengan orang yang berasal dari keturunan Majapahit”. Sehingga peperangan hampir akan terjadi dengan dua raja yang merupakan besan tersebut. Penyebab peperangan tidak terjadi adalah karena dewan penasehat berhasil mendamaikan kedua raja tersebut, yakni dengan keputusan terakhir jika kedua raja harus turun tahta mereka dan mereka berdua harus bersedia menyerahkan tahta mereka pada putera yang sudah dipilih. Pada saat itu Dewa Niskala memilih Jayadewa yang merupakan anaknya, untuk meneruskan kekuasaannya. Sedangkan untuk Prabu Susuktunggal ia juga memilih orang yang sama. Sehingga hasil akhirnya ialah Jayadewa berhasil mempersatukan kedua kerajaan tersebut. Jayadewa mulai memerintah pada sekitar tahun 1482 dengan gelar Sri Baduga Maharaja. Masa Kejayaan Kerajaan Pajajaran Masa Kejayaan Kerajaan Pajajaran mencapai puncak kejayaan pada saat masa kepemimpinan Sri Baduga Maharaja atau Sri Siliwangi. Ia dikenal sebagai seorang raja yang tidak pernah punah dan selalu hidup di hati secara abadi dan pikiran para Masyarakat Jawa Barat. Hal ini dikarenakan Maharaja tersebut membangun sebuah karya besar yang diberi nama Maharena Wijaya. Tidak hanya itu, Maharaja juga membuat jalan yang digunakan untuk menuju ibukota Pakuan dan Wanagiri. Pertahanan ibu kota yang diperkuat serta memberikan desa yang perdikan untuk semua pendeta dan pengikutnya, sehingga hal tersebut dapat menyemangati kegiatan beragama dan menjadi pemimpin kehidupan para rakyat. Sri Baduga Maharaja juga memberikan perintah untuk membangun antara lain adalah sebagai berikut. Kabinihajian atau Kaputren, Kesatriaan atau Asrama Prajurit, menambah kekuatan angkatan perang, mengatur pemungutan upeti dari para raja yang berada di bawahnya dan menyusun undang-undang kerajaan. Dari segi pembangunan bisa dilihat dalam prasasti Kebantenan dan juga Batutulis. Batutulis tersebut mengisahkan juru pantuin Dan penulis Babad yang masih bisa kita lihat sampai sekarang, tetapi ada beberapa atau sebagian lagi sudah hilang. Runtuhnya Kerajaan Pajajaran Runtuhnya Kerajaan Pada tahun 1579 Kerajaan Pajajaran mengalami masa runtuhnya. Kerajaan tersebut hancur diakibatkan oleh penyerangan yang dilakukan oleh Kerajaan Sunda Kesultanan Banten. Kehancuran dari Kerajaan ini ditandai dengan Pindahnya Palangka Sriman Sriwacana atau singgasana raja dari pangkuran Pajajaran ke Keraton Surosowan yang ada di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf. Batu yang memiliki besar 200 x 160 x 20 cm tersebut dipindahkan ke wilayah Banten, karena pada saat itu tradisi politiklah yang membuat Pakuan Pajajaran tidak bisa menobatkan Raja baru dan menjadi tanda bahwa Maulana Yusuf merupakan penerus dari Kerajaan Sunda yang sah, hal tersebut dikarenakan buyut perempuannya ada Putri Sri Baduga Maharaja. Singgasana Raja atau Palangka Sriman Sriwacana dapat kita lihat di depan bekas dari Keraton Surosowan yang ada di daerah Banten. Masyarakat disana menyebutnya dengan nama Watu Gilang yang memiliki arti Mengkilap. Setelah persekutuan yang terjadi antara Kesultanan Demak dan Cirebon, ajaran agama Islam juga mulai memasuki wilayah Parahyangan dan hal tersebut menimbulkan keresahan dari Jaya Dewata, sehingga ia membatasi pedagang muslim yang ingin masuk ke Pelabuhan kerajaan Sunda. Hal ini dimaksudkan agar pengaruh islam terhadap pribumi dapat diperkecil. Tetapi hal yang terjadi malah sebaliknya, dimana pengaruh dari agama Islam jauh lebih kuat dari yang dibayangkan. Hal ini menyebabkan Pajajaran berkoalisi dengan Portugis agar bisa mengimbangi Kesultanan Demak dan Cirebon. Pajajaran memberikan kebebasan untuk melakukan perdagangan dengan bebas di Pelabuhan Kerajaan Pajajaran, tetapi dengan imbanlan yakni berupa bantuan militer apabila Kesultanan Demak dan Cirebon melakukan penyerangan. Pada tahun 1524 Kekuasaan Pajajaran resmi jatuh ke tangan Kesultanan Banten, dimana pada saat itu Pasukan Demak yang bergabung dengan Cirebon mendarat di Banten sehingga ajaran Islam yang dibawa oleh para pendatang dapat menarik perhatian masyarakat bahkan sampai ke pedalaman Wahanten Girang. Sesudah berhasil dikalahkan oleh Kesultanan Banten, para punggawa Istana menetap di Lebak dan hidup di pedalaman dengan memakai cara kehidupan mandala yang ketat dan kelompok masyarakat tersebut masih ada hingga sekarang, atau yang biasanya kita kenal sebagai Suku Baduy. Kehidupan Kerajaan Pajajaran Kehidupan yang ada pada masyarakat Kerajaan Pajajaran dibagi menjadi 3 aspek yakni, Aspek Politik, Aspek Ekonomi dan Aspek Sosial dan Budaya. Berikut ini merupakan penjelasan dari masing-masing aspek yang ada! Kehidupan Politik Kerajaan Pajajaran Kehidupan Politik Sistem pemerintahan yang ada pada kerajaan Pajajaran hanya dapat diketahui oleh beberapa orang raja saja. Berikut ini merupakan bentuk-bentuk sistem pemerintahan dari raja-raja yang memerintah kerajaan Pajajaran! Maharaja Jayabhupati Dalam prasasti ditulis maharaja Jayabhupati menyebut dirinya Haji Ri sunda. Sebutan ini mempunyai tujuan yakni untuk meyakinkan kedudukannya sebagai raja kerajaan Pajajaran. Raja Jayabhupati memeluk agama Hindu beraliran waisnawa. Pusat pemerintahannya diperkirakan berada di wilayah Pakuan Pajajaran yang kemudian dipindahkan ke Kawali. Rahyang Niskala Wastu Kencana. Raja tersebut naik tahta untuk menggantikan raja Maharaja Jayabhupati. Pusat pemerintahannya terletak di wilayah Kawali dan istananya disebut dengan Surawisesa. Rahyang Dewa Niskala Raja Dewa Niskala atau Rahyang Ningrat Kencana adalah raja yang menggantikan Rahyang Niskala Wastu Kencana. Akan tetapi tidak diketahui bagaimana sistem Pemerintahannya. Sri Baduga Maharaja Sri Baduga Maharaja tersebut bertahta di pakuan pajajaran. Pada masa pemerintahannya terjadi pertempuran yang sangat besar, pertempuran tersebut terdapat di dalam kitab Pararaton dan disebut dengan Perang Bubat. Peristiwa ini terjadi sekitar tahun 1357 M. Dalam pertempuran itu, semua pasukan pajajaran gugur termasuk dengan raja Sri Baduga sendiri beserta putrinya. Hyang Wuni Sora Raja tersebut berkuasa untuk menggantikan Raja Sri Baduga Maharaja yang telah wafat. Setelah ia berturut-turut digantikan oleh Prabu Niskala Wastu Kencana 1371-1474 M, Tohaan 1475-1482 M yang berkedudukan di Galuh, Ratu Jay Dewata 1482-1521 M. Ratu Samian atau Prabu Surawisesa Pada masa Pemerintahannya, yakni pada tahun 1512 M dan 1521 M, ia berkunjung ke Malaka dengan tujuan untuk meminta bantuan portugis dalam rangka menghadapi kerajaan demak. Tetapi bantuan yang diharapkan itu ternyata sia-sia. Karena pelabuhan terbesar yang ada di kerajaan pajajaran, yaitu Sunda Kelapa sudah dikuasai oleh pasukan kerajaan demak dibawah pimpinan Fatahilah. Sehingga mengakibatkan, hubungan Pajajaran dengan dunia luar terputus. Prabu Ratu Dewata 1535-1543 Raja tersebut memerintah untuk menggantikan Prabu Surawisesa. Pada masa pemerintahannya, juga terjadi berbagai serangan dari kerajaan Banten yang dipimpin oleh Maulana Hasanudin, dibantu oleh anaknya Maulana Yusuf. Berkali-kali pasukan Banten Islam berusaha merebut ibukota Pajajaran tahun 1579 M. Peristiwa ini mengakibatkan runtuhnya kerajaan hindu Pajajaran di Jawa Barat. Kehidupan Ekonomi Kerajaan Pajajaran Kehidupan Ekonomi Masyarakat yang berada di Kerajaan Pajajaran bertahan hidup dengan bercocok tanam, ladang yang menghasilkan beras, buah-buahan, sayuran, lada dan juga pelayaran dan perdagangan. Dimana Kerajaan tersebut mempunyai 6 pelabuhan penting yang terdiri antara lain, Sunda Kelapa yang berada di Jakarta, Pontang, Tamgara, Pelabuhan Banten, Cigede, dan ada juga Cimanuk yang berada di Pamanukan. Melalui peradangan laut, masyarakat dapat melakukan perdagangan dengan daerah atau negara lain. Untuk wilayah peradangan sendiri bisa mencapai pulau Sumatera dan bisa juga sampai dengan pulau Maladewa. Barang yang biasanya dijual belikan ialah barang yang berupa bahan makanan dan juga lada, tetapi yang lebih penting adalah beras. Untuk perdagangan yang ada di jalur darat juga memiliki peran yang penting, dimana jalan darat untuk perdagangan itu berpusat di Pakuan Pajajaran, ibu kota Kerajaan. Sedangkan jalan yang lainnya yakni menuju Timur dan gang lain menuju ke Barat. Jalan yang menuju ke Timur dapat menghubungkan Pakuan Pajajaran dengan Karang Sambung yang terletak di wilayah tepi Sungai Cimanuk, melalui Cileungsi dan Cibarusa kemudian membelok ke Karawang. Kemudian dari Tanjung Puraini di teruskan ke Cikal dan Purwakarta yang kemudian berakhir di Karang Sambung. Sedangkan Jalan lain yang menuju ke arah Barat, dimulai dari Pakuan Pajajaran melalui Jasinga dan juga Rangkasbitung, menuju Serang yang kemudian berakhir di Banten. Untuk jalan darat lain yang dimulai dari Pakuan Pajajaran menuju Ciampea mulai dari Muara Cianten. Kehidupan Sosial Budaya Kerajaan Pajajaran Kehidupan Sosial Budaya Kehidupan Sosial yang ada di masyarakat Pajajaran yakni berupa seniman, baik itu penari, pemain gamelan atau badut dan juga dari golongan petani dan peradangan. Sedangkan golongan jahat yang dianggap oleh masyarakat yakni berupa, tukang copet, pencuri, maling atau perampas. Sementara untuk Budaya yang ada di kerjaan ini dipengaruhi oleh agama Hindhu. Pengaruh dari agama tersebut dapat dilihat dari peninggalan yang ditinggalkan diantaranya adalah Prasasti, Batuk, kitab cerita dari Parahyangan dan juga terdapat Kitab Sanvyang Siskanda. Silsilah Kerajaan Pajajaran Siapa raja kerajaan pajajaran? Selain pendiri dari Kerajaan Pajajaran yakni Sri Jayabhupati, berikut ini merupakan beberapa raja-raja yang pernah tercatat menjadi pemimpin dari kerajaan. Berikut ini Silsilah Kerajaan Pajajaran ! Sri Baduga Maharaja 1482 – 1521, merupakan raja yang bertahta di Pakuan Bogor sekarang Surawisesa 1521 – 1535, merupakan raja yang bertahta di Pakuan Ratu Dewata 1535 – 1543, merupakan raja yang bertahta di Pakuan Ratu Sakti 1543 – 1551, merupakan raja yang bertahta di Pakuan Ratu Nilakendra 1551-1567, meninggalkan Pakuan karena mendapatkan serangan dari Hasanudin dan anaknya, Maulana Yusuf. Raga Mulya 1567 – 1579, raja yang dikenal sebagai Prabu Surya Kencana, memerintah dari Pandeglang. Peninggalan Kerajaan Pajajaran Kerajaan Pajajaran meninggalkan beberapa peninggalan-peninggalan yang bersejarah dan masih bisa kita lihat sampai sekarang. Peninggalan-peninggalan tersebut antara lain. Contoh Peninggalan Prasasti Prasasti Cikapundung Prasasti ini ditemukan pada tanggal 8 Oktober 2010 oleh masyarakat sekitar. Prasasti tersebut ditemukan di sekitar Sungai Cikapundung, Bandung. Dalam Prasasti tersebut ditemukannya sebuah tulisan Sunda kuno yang diperkirakan berasal dari abad ke-14, bukan hanya itu terdapat juga beberapa gambar. Seperti telapak tangan, wajah, telapak kaki dan 2 baris huruf Sunda Kuno dengan tulisan “Unggal Jagat Jalmah Hendak” yang memiliki arti “Semua manusia di dunia bisa mengalami sesuatu apapun”. Prasasti Huludayeuh Prasasti ini baru diketahui pada bulan September tahun 1991. Prasasti tersebut berada di tengah sawah Kampung Huludayeuh, desa Cikalahang, Kecamatan Sumber. Isi dari prasasti tersebut adalah sebelas baris tulisan dengan berbentuk aksara dan juga bahasa Sunda Kuno. Permukaan dari batu prasasti sudah rusak, karena pada saat penemuan prasasti dalam keadaan yang tidak utuh dan beberapa tulisan yang sudah hilang, sehingga isi dari prasasti tidak dapat terbaca. Tetapi secara garis besar, prasasti tersebut menceritakan tentang Sri Maharaja Ratu Haji di Pakwan Dua Sang Ratu Dewata yang masih berhubungan dengan beberapa usaha utnuk memakmurkan negerinya Prasasti Pasir Datar Prasasti ini ditemukan pada tahun 1872 tepatnya terletak di Pasir Datar, Cisande, Sukabumi yang sekarang sudah disimpan pada Museum Nasional Jakarta. Prasasti tersebut terbuat dari material batu alam dan isi dari prasasti masih belum bisa diartikan. Prasasti Perjanjian Sunda Portugis. Prasasti ini ditemukan pada tahun 1918 tepatnya di Jakarta. Prasasti yang berbentuk tugu batu tersebut merupakan tanda perjanjian dari Kerajaan Sunda dengan Kerajaan Portugis. Prasasti ini ditemukan dengan cara penggalian saat membangun sebuah gudang yang ada di bagian sudut Prinsenstraat yang sekarang menjadi jalan cengkeh dan juga Groenestraat yang sekarang menjadi jalan Kali Besar Timur I dan masuk kedalam wilayah Jakarta Barat. Prasasti Ulubelu Prasasti ini ditemukan pada tahun 1936 tepatnya terletak di Ulubelu, Desa Rebangpunggung, Kota agung, Lampung. Isi dari Prasasti ini adalah mantra tentang sebuah permohonan dan juga pertolongan yang akan ditujukan pada para Dewa utama yakni Batara Guru, Wisnu dan juga Brahmana serta Dewa sang penguasa tanah, air dan juga pohon untuk keselamatan dari segala musuh. Situs Karangkamulyan Peninggalan ini berada di Desa Karangkamulyan, Ciamis, Jawa Barat yang juga merupakan peninggalan dari Kerajaan Galuh Hindu-Buddha. Situs tersebut menceritakan tentang Ciung Wanara yang berkaitan dengan Kerajaan Galuh. Cerita tersebut ke tak dengan kisah dari pahlawan hebat yang mempunyai kesaktian dan juga keperkaasaan yang tidak dimiliki oleh orang biasa, dan hanya dimiliki oleh Ciung Wanara. Prasasti Kebon Kopi II Prasasti tersebut memiliki nama lain yakni Prasasti Pasir Muara yang merupakan peninggalan dari kerajaan Sunda Galuh, dan ditemukan pada sekitar Prasasti Kebon Kopi I. Prasasti ini ditemukan di Kampung Pasir Muara, Desa Ciaruteun Ilir, Cibungbulang, Bigor, Kabupaten Bogor, Jawa Barat pada sekitar abad ke -19. Penutup Demikian penjelasan tentang Kerajaan Pajajaran, pembahasan yang dimulai dari sejarah, masa kejayaan dan masa runtuhnya kerajaan, cerita tentang kehidupan masyarakat yang ada pada saat itu, silsilah raja dan juga peninggalan dari kerajaan Pajajaran. Semoga artikel ini bisa bermanfaat dan bisa menambahkan wawasan buat kalian semua terutama pada bidang sejarah, karena sejarah bukan untuk dilupakan, tapi sejarah untuk dijaga dan dirawat! Kerajaan PajajaranSumber Artikel
Di wilayah Jawa Barat muncul Kerajaan Sunda yang diduga merupakan kelanjutan dari Kerajaan Tarumanegara yang runtuh pada abad ke-7. Berita munculnya Kerajaan Sunda dapat diketahui dari Prasasti Canggal yang ditemukan di Gunung Wukir, Jawa Tengah berangka tahun 732 M. Prasasti dan Kitab tentang Kerajaan Sunda Dalam Prasasti Canggal disebutkan bahwa Sanjaya telah mendirikan tempat pemujaan di Kunjarakunja daerah Wukir. Ia adalah anak Sanaha, saudara perempuan Raja Sanna. Dalam Kitab Carita Parahyangan, dinyatakan bahwa Sanjaya adalah anak Raja Sena yang berkuasa di Kerajaan Galuh Sekarang Ciamis. Suatu ketika terjadi perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh Rahyang Purbasora, saudara seibu dengan Raja Sena. Raja Sena berhasil dikalahkan dan melarikan diri ke Gunung Merapi beserta keluarganya. Selanjutnya Sanjaya, putra Sanaha berkuasa di Galuh. Beberapa waktu kemudian, Sanjaya pindah ke Jawa Tengah menjadi raja di Mataram, sedangkan Sunda dan Galuh diserahkan kepada putranya Rahyang Tamperan. Sampai sekarang para ahli masih berbeda pendapat mengenai keterkaitan antara tokoh Sanna dan Sanjaya di dalam Prasasti Canggal dengan Raja Sena dan Sanjaya di dalam kitab Carita Parahyangan. Kehidupan Politik Kerajaan Sunda Dalam waktu yang cukup lama tidak dapat diketahui perkembangan keadaan Kerajaan Sunda selanjutnya. Kerajaan Sunda baru muncul kembali pada abad ke-11 1030 ketika di bawah pemerintahan Maharaja Sri Jayabhupati. Nama Maharaja Sri Jayabhupati terdapat pada Prasasti Sanghyang Tapak yang ditemukan di Pancalikan dan Bantarmuncang di tepi sungai Citatih, Cibadak, Sukabumi. Prasasti itu berangka tahun 952 Saka 1030 M, berbahasa Jawa kuno, dengan huruf Kawi. Isinya antara lain menyebutkan bahwa Maharaja Sri Jayabhupati Jayamanahen Wisnumurti Samararijaya Sakalabhuwanamandalesrananindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa berkuasa di Prahajyan Sunda. Prasasti Sanghyang Tapan juga berisi pembuatan daerah terlarang di sebelah timur Sanghyang Tapak Daerah itu berupa sebagian dari sungai, yang ditandai dengan batu besar di bagian hulu dan hilir oleh Raja Jayabhupati penguasa Kerajaan Sunda. Di daerah larangan itu, orang tidak boleh menangkap ikan dan segala hewan yang hidup di sungai tersebut. Siapa yang berani melanggar larangan itu, ia akan dikutuk oleh dewa. Ia terkena kutukan yang mengerikan, yakni akan terbelah kepalanya, terminum darahnya dan terpotong-potong ususnya. Tujuannya, mungkin untuk menjaga kelestarian lingkungan agar ikan dan binatang lainnya tidak punah. Berdasarkan gelar yang digunakannya, menunjukkan adanya kesamaan dengan gelar Airlangga di Jawa Timur. Selain itu, masa pemerintahannya juga bersamaan. Ada dugaan bahwa di antara kedua kerajaan itu ada hubungan atau pengaruh. Namun, Sri Jayabhupati menegaskan bahwa dirinya sebagai Haji ri Sunda Raja di Sunda. Dengan demikian jelas, bahwa Jayabhupati bukan merupakan raja bawahan Airlangga. Pada masa pemerintahan Sri Jayabhuptai, pusat kerajaan Sunda ialah Pakwan Pajajaran. Akan tetapi tidak lama kemudian pusat kerajaanya dipindahkan ke Kawali daerah Cirebon sekarang. Kawali dekat dengan Galuh, yakni pusat Kerajaan Sunda masa Sanjaya. Agama yang dianut Sri Jayabhupati ialah Hindu aliran Wisnu atau Hindu Waisnawa. Hal ini dapat diketahui dari gelarnya yaitu Wisnumurti Agama yang sama juga dianut oleh Airlangga. Dengan demikian ada kemungkinan bahwa pada abad ke-11 agama yang berkembang di Jawa adalah Hindu Waisnawa. Setelah masa pemerintahan Jayabhupati, pada tahun 1350 yang menjadi raja di kerajaan Sunda adalah Prabu Maharaja. Ia mempunyai seorang putri bernama Dyah Pitaloka. Putri itu akan dijadikan istri oleh Raja Majapahit, Hayam Wuruk. Raja Sunda bersama para pengiringnya datang ke Majaphit mengantarkan putrinya untuk menikah. Akan tetapi, Gajah Mada menginginkan agar putri itu dipersembahkan sebagai tanda takluk. Akhirnya timbul perang. Gajah Mada ingin memaksanakan kehendaknya, sebab Kerajaan Sunda adalah satu-satunya kerajaan yang belum tunduk di bawak kekuasaan Majapahit. Ini berarti, Sumpah Palapa tidak bisa terwujud sepenuhnya. Kebetulan, Raja Sunda datang untuk menikahkan putrinya dengan Hayam Wuruk. Ini adalah kesempatan yang baik untuk menaklukkan Sunda. Prabu Maharaja berperang melawan tentara Majapahit yang dipimpin Gajah Mada di daerah Bubat pada tahun 1357. Kekuatan tentara Sunda tidak seimbang dengan kekuatan tentara Gajah Mada. Dalam pertempuran itu, Raja Sunda bersama para pengiringnya terbunuh. Kematian Raja Sunda dan pengiringnya membuat Raja Hayam Wuruk merah besar kepada Gajah Mada. Gajah Mada kemudian diberhentikan sebagai Maha Patih Majapahit, sejak itulah hubungan antara Hayam Wuruk dan Gajah Mada retak. Prabu Maharaja digantikan oleh putranya yang bernama Rahyang Niskala Wastu Kancana. Menurut kitab Carita Parahyangan, pada waktu terjadi peristiwa Bubat, Wastu Kancana baru berumur 5 tahun. Ia tidak ikut ke Majapahit, karena itu selamat dari kematian. Dalam pemerintahan, Wastu Kancana diwakili oleh Rahyang Bunisora yang berlangsung sekitar 14 tahun 1357-1371. Setelah naik takhta, Wastu Kancana sangat memerhatikan kesejahteraan rakyatnya. Ia memerintah sesuai dengan undang-undang, dan taat pada agamanya. Oleh karenanya, kerajaan aman dan makmur. Masa pemerintahan Wastu Kancana cukup lama 1371-1471. Pengganti Wastu Kancana adalah Tohaan di Galuh atau Rahyang Ningrat Kancana. Ia memegang pemerintahan selama tujuh tahun 1471-1478. Setelah itu, Kerajaan Sunda berada di bawah pemerintahan Sang Ratu Jayadewata 1482-1521. Pada prasasti Kebantenan, Jayadewata disebut sebagai Susuhunan di Pakwan Pajajaran. Pada prasasti Batutulis, Sang Ratu Jayadewata disebut dengan nama Sri Baduga Maharaja. Ia adalah putra Ningrat Kancana. Di bawah pemerintahan Sang Ratu Jayadewata, Kerajaan Sunda mencapai puncak kejayaannya. Ia membuat sebuah telaga yang diberi nama Telaga Rena Mahawijaya. Ia juga memerintahkan membuat parit di sekeliling ibukota kerajaan yang bernama Pakwan Pajajaran. Raja Sri Baduga memerintah berdasarkan kitab hukum yang berlaku saat itu, sehingga kerajaan menjadi aman, tenteram dan sejahtera. Sang Ratu Jayadewata, telah memperhitungkan adanya pengaruh Islam yang makin meluas di Kerajaan Sunda. Untuk mengantisipasinya, Sang Ratu menjalin hubungan dengan Portugis di Malaka. Dari berita Portugis, dapat diperoleh keterangan bahwa pada tahun 1512 dan 1521, Ratu Samiam dari Kerajaan Sunda memimpin perutusan ke Malaka untuk mencari sekutu. Pada waktu itu, Malaka telah berada di bawah kekuasaan Portugis. Salinan gambar prasasti Batu Tulis dari buku The Sunda Kingdom of West Java From Tarumanagara to Pakuan Pajajaran with the Royal Center of Bogor Pada tahun 1522, perutusan Portugis di bawah pimpinan Hendrik de Leme datang ke Kerajaan Sunda. Pada waktu itu, Kerajaan Sunda berada di bawah pemerintahan Ratu Samiam. Ratu Samiam menurut para ahli sama dengan Prabu Surawisesa yang disebut dalam kitab Carita Parahyangan. Masa pemerintahannya berlangsung dari tahun 1521 -1535. Jika hal itu benar, pada waktu ia memimpin perutusan ke Malaka, Surawisesa Ratu Samiam masih putra mahkota. Pada masa pemerintahannya, terjadi serangan tentara Islam, di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin dari Kerajaan Banten. Beberapa kali tentara Islam berusaha merebut ibukota Kerajaan Sunda, tetapi belum berhasil. Pada tahun 1527, Sunda Kelapa yang merupakan pelabuhan terbesar Kerajaan Sunda jatuh ke tangan tentara Islam. Akibatnya, hubungan pusat Kerajaan Sunda di pedalaman dengan daerah luar terputus. Satu persatu, pelabuhan Kerajaan Sunda jatuh ke tangan kekuasaan Kerajaan Banten, sehingga raja Sunda terpaksa bertahan di pedalaman. Prabu Surawisesa digantikan oleh Prabu Ratu Dewata 1535 -1543. Kerajaan Sunda hanya bertahan di pedalaman. Pada masa itu, sering terjadi serangan terhadap Kerajaan Sunda dari Kerajaan Banten. Hal ini sesuai dengan kitab Purwaka Caruban Nagari, berkaitan dengan sejarah Cirebon. Dalam naskah tersebut, dinyatakan bahwa pada abad ke-15 di Cirebon telah berdiri perguruan Islam, jauh sebelum Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati berdakwah menyebarkan agama Islam. Ratu Dewata kemudian digantikan oleh Sang Ratu Saksi 1543-1551. Ia seorang raja yang kejam dan senang berfoya-foya. Ratu Saksi, kemudian digantikan oleh Tohaan di Majaya 1551-1567. Ia juga seorang raja yang suka berfoya-foya dan mabuk-mabukan. Raja terakhir kerajaan Sunda ialah Nusiya Mulya. Kerajaan Sunda sudah lemah sekali sehingga tidak mampu bertahan dari serangan tentara Islam dari Banten, dan runtuhlah Kerajaan Sunda di Jawa Barat. Kehidupan Sosial Ekonomi Kerajaan Sunda Berdasarkan kitab Sanghyang Siksakandang Karesian, kehidupan sosial masyarakat Kerajaan Sunda dapat dibagi menjadi beberapa kelompok, antara lain sebagai berikut 1. Kelompok Rohani dan Cendekiawan Kerajaan Sunda Kelompok rohani dan cendekiawan adalah kelompok masyarakat yang mempunyai kemampuan di bidang tertentu. Misalnya, brahmana yang mengetahui berbagai macam mantra, pratanda yang mengetahui berbagai macam tingkat dan kehidupan keagamaan, dan janggan yang mengetahui berbagai macam pemujaan, memen yang mengetahui berbagai macam cerita, paraguna mengetahui berbagai macam lagu atau nyanyian, dan prepatun yang memiliki berbagai macam cerita pantun. 2. Kelompok Aparat Pemerintah Kerajaan Sunda Kelompok masyarakat sebagai alat pemerintah negara, misalnya bhayangkara bertugas menjaga keamanan, prajurit tentara, hulu jurit kepala prajurit. 3. Kelompok Ekonomi Kerajaan Sunda Kelompok ekonomi adalah orang-orang yang melakukan kegiatan ekonomi. Misalnya, juru lukis pelukis, pande mas perajin emas, pande dang pembuat perabot rumah tangga, pesawah petani, dan palika nelayan. Pada masa kekuasaan raja-raja Sunda, kehidupan sosial ekonomi masyarakat cukup mendapatkan perhatian. Meskipun pusat kekuasan Kerajaan Sunda berada di pedalaman, namun hubungan dagang dengan daerah atau bangsa lain berjalan baik. Kerajaan Sunda memiliki pelabuhanpelabuhan penting, seperti Banten, Pontang, Cigede, Tamgara, Sunda kelapa, dan Cimanuk. Di kota-kota pelabuhan tersebut diperdagangkan lada, beras, sayur-sayuran, buah-buahan, dan hewan piaraan. Di samping kegiatan perdagangan, pertanian merupakan kegiatan mayoritas rakyat Sunda. Berdasarkan kitab Carita Parahyangan dapat diketahui bahwa kehidupan ekonomi masyarakat Kerajaan Sunda umumnya bertani, khususnya berladang berhuma. Misalnya, pahuma paladang, panggerek pemburu, dan penyadap. Ketiganya merupakan jenis pekerjaan di ladang. Aktivitas berladang memiliki ciri kehidupan selalu berpindah-pindah. Hal ini menjadi salah satu bagian dari tradisi sosial Kerajaan Sunda yang dibuktikan dengan sering pindahnya pusat Kerajaan Sunda. Kehidupan Masyarakat Kerajaan Sriwijaya Kehidupan Budaya Kerajaan Sunda Kehidupan masyarakat Kerajaan Sunda adalah peladang, sehingga sering berpindah-pindah. Oleh karena itu, Kerajaan Sunda tidak banyak meninggalkan bangunan yang permanen, seperti keraton, candi atau prasasti. Candi yang paling dikenal dari Kerajaan Sunda adalah Candi Cangkuang yang berada di Leles, Garut, Jawa Barat. Hasil budaya masyarakat Kerajaan Sunda yang lain berupa karya sastra, baik tulis maupun lisan. Bentuk sastra tulis, misalnya Carita Parahyangan; sedangkan bentuk satra lisan berupa pantun, seperti Haturwangi dan Siliwangi. Anda telah membaca artikel tentang "Kehidupan Masyarakat Kerajaan Sunda" yang telah dipublikasikan oleh Ruang Pintar. Semoga menambah wawasan dan bermanfaat.
kehidupan politik kerajaan sunda